Agama Dan Pembelasn Atas Alam

*Seri Alam Liar #29, 29 Maret 2025*
_(Sepuluh Tahun Ensiklik Laudato Si' #55),Selamat Hari Raya Nyepi untuk kita semua !_

*AGAMA DAN PEMBELAAN ATAS ALAM*

*Nyepi, sebuah pemberontakan hening*

Bayangkan sebuah pulau yang tiba-tiba berhenti bernapas. Di Bali, sekali setahun, mesin peradaban modern dimatikan dengan sengaja—lampu padam, jalanan kosong, udara bebas dari deru mesin. Ini bukan sekadar ritual, melainkan *pemberontakan sakral* melawan budaya konsumsi yang rakus. Nyepi adalah kritik bagi dunia yang kecanduan pertumbuhan: alam butuh istirahat, dan manusia harus belajar diam. 

Saat COVID-19 memaksa separuh planet ini lockdown, kita melihat langit biru di atas Jakarta, lumba-lumba di pelabuhan Italia yang biasanya tercemar, dan Himalaya nampak di kejauhan. Nyepi dan Covid-19 membuktikan: kita bisa berhenti, kita bisa memberi jeda. Pertanyaannya, mengapa harus menunggu bencana?

Alam bukan korban, tapi pejuang yang tangguh dan ulet. Beri ia waktu, dan lihatlah keajaiban yang terjadi. Ia akan memulihkan diri. Tahun Sabat dalam tradisi Yahudi bukan sekadar hukum agama, melainkan hukum alam yang diakui oleh kebijaksanaan kuno. Ketika lahan dibiarkan istirahat selama setahun (Imamat 25:1-7), mikroba tanah bangkit kembali, cacing-cacing menggemburkan bumi, dan kehidupan yang terpinggirkan oleh monokultur menemukan jalannya (Altieri, 2018). Ini bukan romantisme—ini sains yang telah dibungkus oleh tradisi ribuan tahun. Demikian pula dengan tradisi Yubileum yang dirayakan Gereja Katolik tahun ini, seharusnya juga menjadi jeda ekologis bagi pemulihan alam. 

Agama-agama telah menyimpan resep kuno untuk krisis modern: berhenti. Bukan mundur, tapi berhenti—untuk memulihkan, merenung, dan merancang ulang relasi kita dengan alam. Dan di hari-hari kita merayakan Nyepi, Idul Fitri, dan Paskah, tidakkah ini saat terbaik untuk merenungkan relasi kita dengan bumi? 

*Belajar dari Agama-agama*

_1. Hindu: Alam sebagai Perwujudan Yang Ilahi_

Dalam tradisi Hindu, alam bukan sekadar ciptaan, melainkan perwujudan Brahman (Tuhan Yang Mutlak). Kitab Upanishad menyatakan, _"Sarvaṃ khalv idaṃ brahma"_ (Segala sesuatu adalah Brahman). Konsep ini melahirkan praktik konservasi yang hidup:
Tri Hita Karana di Bali menjadi filosofi hidup yang menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan. Sistem subak—jaringan irigasi kuno—tidak hanya mengatur air, tetapi juga ritus-ritus persembahan di setiap sumber mata air.
Nyepi adalah "Sabat Bumi" yang radikal: selama 24 jam, seluruh pulau berhenti beraktivitas, mengurangi emisi karbon hingga 30%. Ini adalah jeda ekologis yang diabadikan dalam tradisi.
Bhumi Sukta dalam Atharvaveda memuliakan Bumi sebagai ibu yang harus dihormati, bukan dieksploitasi.

_2. Buddhisme: Jejaring Kehidupan yang Saling Terhubung_

Ajaran Buddha tentang Pratītyasamutpāda (saling ketergantungan) menjadi dasar ekologi spiritual:
Penyucian Pohon di Thailand adalah perlawanan kreatif terhadap deforestasi. Biksu memberi jubah kuning pada pohon besar, mengubahnya menjadi "biksu" yang tak boleh ditebang.
Biara sebagai Tempat Perlindungan Satwa. Di Bhutan, hutan sekitar biara menjadi habitat harimau dan burung langka, karena dianggap sebagai tanah suci.
Etika Ahimsa (tanpa kekerasan) meluas ke alam: merusak lingkungan berarti melukai seluruh jaringan kehidupan.

_3. Islam: Khalifah yang Bertanggung Jawab_

Islam menawarkan konsep khalifah (wakil Allah di bumi) yang revolusioner:
Hima—Konservasi Ala Nabi. Rasulullah menetapkan zona larangan tebang di sekitar Madinah, melindungi satwa dan tumbuhan.
Fatwa-Fatwa Lingkungan. MUI menetapkan pembakaran hutan sebagai dosa besar, dan air sebagai hak publik yang tak boleh diprivatisasi.
Wakaf Lingkungan. Tanah wakaf di Aceh dijadikan hutan larangan, melestarikan orangutan dan sumber air.

_4. Katolik: Sakramen Ciptaan_

Gereja Katolik, melalui Laudato Si', mengajak manusia melihat alam sebagai "saudara" dan "saudari":
Bioetika Monastik. Biara-biara Trappist di Eropa mengembangkan pertanian organik yang memulihkan tanah.
Teologi Penebusan Kosmis. Teilhard de Chardin melihat Kristus sebagai pusat evolusi alam semesta—manusia dipanggil merawat, bukan merusak.
Misa untuk Alam. Di Amazon, Uskup Kräutler memimpin misa di hutan, menguduskan pohon sebagai "teman penebusan."

_5. Protestan: Etika Penatalayanan_

Reformasi Protestan melahirkan penafsiran baru atas mandat "berkuasalah" (Kejadian 1:28):
Gereja Hijau. Di Jerman, gereja-gereja memasang panel surya dan mengubah pekarangan menjadi kebun komunitas.
Teologi Proses. Alfred North Whitehead melihat alam sebagai "tubuh Tuhan"—merusaknya berarti melukai Sang Pencipta.
Gerakan Ekologi Calvinis. John Calvin menekankan bahwa alam adalah pinjaman dari Tuhan, bukan hak milik mutlak.

_6. Agama-Agama Lain_

Shinto di Jepang memuliakan kami (roh) dalam batu, sungai, dan hutan. Ritual satoyama menjaga hutan sebagai tempat suci.
Jainisme melarang pertanian intensif karena merusak mikroorganisme tanah.
Sikhisme mengajarkan seva (pelayanan) terhadap alam, dengan gurdwara menyediakan makanan organik bagi siapa saja.

Agama-agama bukan sekadar penyampai dogma, tetapi penjaga memori ekologis umat manusia. Ketika kapitalisme global menggerus alam, tradisi-tradisi spiritual ini menawarkan jalan pulang—kembali ke relasi yang adil dan penuh hormat dengan Bumi. Agama menjadi mata air spiritualitas, roh, yang menghidupkan kembali bumi. 

*Kosmologi sakral agama-agama dan tanggung jawab ekologis*

Agama-agama dunia menyimpan konsep radikal tentang alam yang sering kita lupakan - bahwa bumi bukan sekadar sumber daya, melainkan jejak yang kudus. Dalam Kristen, teologi penciptaan (Kejadian 2:15) menempatkan manusia sebagai "penjaga taman Eden", bukan penguasa. Islam melalui konsep khalifah (QS Al-Baqarah:30) menekankan mandat pengelolaan, bukan eksploitasi. Hindu dengan filosofi Vasudhaiva Kutumbakam (dunia sebagai keluarga) dan Buddhisme melalui pratiya-samutpada (saling keterhubungan) menawarkan basis metafisis untuk konservasi (Tucker & Grim, 2017).

Yang menarik, penelitian di Journal for the Study of Religion, Nature and Culture (2020) menunjukkan _komunitas yang memegang teguh kosmologi tradisional cenderung memiliki biodiversitas lebih kaya dibanding wilayah sekuler._ Ini jelas bukan kebetulan, melainkan bukti adanya _sistem nilai yang bekerja._

*Revolusi pastoral: Ketika laku doa dan hidup umat menjadi pepulih kehidupan*

Di pedalaman Amazon, sebuah upacara yang tak biasa terjadi. Uskup Dom Erwin Kräutler memimpin misa di mana pohon-pohon hutan hujan "dibaptis" dengan nama-nama santo, mengubah kawasan yang terancam menjadi "paroki ekologis" (Gebara, 2019). Ini bukan sekadar simbolisme, melainkan gerakan bawah tanah teologis yang menyatukan sakramen dengan silvikultur. Di seminari-seminari di Amazon, ekopastoral adalah bagian wajib dari kurikulum. Di Thailand Utara, Bikkhu Buddhadāsa memprakarsai "ordinasi pohon" di mana pepohonan "ditahbiskan" dengan jubah kuning - strategi spiritual yang berhasil mengurangi penebangan liar hingga 65% di wilayah Chiang Mai (Darlington, 2012).
Di Indonesia, pesantren-pesantren ekologi seperti Pondok Pesantren Ath-Thaariq di Garut telah mengembangkan "fikih ekologi" yang mentransformasikan konsep haram-halal menjadi etika lingkungan hidup. Kyai mereka menegaskan: _"Merusak hutan bukan hanya melanggar UU No. 32/2009, tetapi lebih dalam lagi, melanggar amanah khalifatullah fil ardh"_ (Masruri, 2021). Pendekatan ini terbukti efektif meningkatkan partisipasi masyarakat dalam konservasi hingga 40% dibanding pendekatan sekuler (Global Interfaith Rainforest Initiative, 2022).

*Rintangan bagi agama-agama*

_*1. Menghancurkan benteng antroposentrisme agama-agama*_

Dalam tradisi Abrahamik, tafsir literal atas frasa "berkuasalah atas bumi" (Kejadian 1:28) telah melahirkan eksegesis yang membahayakan. Lynn White Jr. (1967) dalam esai monumentalnya The Historical Roots of Our Ecologic Crisis menelanjangi bagaimana teologi penaklukan ini menjadi landasan mentalitas eksploitatif. Data terbaru menunjukkan:
58% gereja evangelis Amerika masih menolak isu perubahan iklim berdasarkan penafsiran eskatologis (Pew Research, 2023)
Fatwa-fatwa ekologi progresif di dunia Islam hanya diadopsi 23% pesantren karena bertentangan dengan tafsir antroposentris klasik (ICRP, 2022)

Solusinya terletak pada dekonstruksi hermeneutik. The Green Bible (2008) misalnya, mencetak 1.000 ayat ekologis dalam warna hijau, sementara para teolog Muslim seperti Fazlun Khalid mengembangkan "ekotafsir" yang membaca Al-Qur'an melalui lensa ekosistem.

*2. Agama yang terjajah modal dan kekuasaan : Dilema institusional*

Di Brasil, sebagian gereja menerima pendanaan dari korporasi agribisnis yang membabat Amazon—ironisnya, dengan dalil "pengelolaan alam" (Watson, 2023). Sementara di Indonesia, 40% tanah wakaf terancam alih fungsi tambang (BWI, 2023). Ini adalah gejala keterjalinan agama dengan kekuasaan:
Laporan Bank Dunia (2023) mengungkap 60% aset gereja di Global South terinvestasi dalam industri ekstraktif
Survei Yale (2022) menunjukkan hanya 12% lembaga keagamaan yang memiliki kebijakan divestasi dari bahan bakar fosil
Gerakan seperti Laudato Si'' Movement, Fossil Free Faith dan Green Waqf muncul sebagai perlawanan, tetapi menghadapi tantangan struktural yang masif.

_*3. Spiritualitas yang semakin privat*_

Ritual berbasis alam telah menyusut 70% dalam 50 tahun terakhir (Yale, 2023). Agama-agama semakin terkunci dalam ruang privat—doa dipindahkan dari sungai ke ruang ber-AC, zikir ke alam digantikan podcast religi. Dampaknya fatal:
Masyarakat adat yang mempertahankan ritual alam memiliki indeks konservasi 3x lebih tinggi (UNEP, 2023)
Generasi muda 40% lebih kecil kemungkinannya mengaitkan iman dengan isu lingkungan (Gallup, 2022)

 Paus Fransiskus, "Tidak ada dua krisis terpisah—lingkungan dan sosial—melainkan satu krisis sosio-lingkungan" (Laudato Si', 2015). Tidak ada krisis lingkungan yang terpisah dari krisis politik. Jawabannya mungkin terletak pada keberanian untuk:
Melakukan reformasi teologis radikal
Memutus rantai kolusi dengan modal
Menghidupkan kembali spiritualitas ekologis

*Lima aksi agama untuk bumi*

_*1. Mendekonstruksi teologi ekstraktif atas alam*_

Revolusi hermeneutik ekologis sedang terjadi di berbagai tradisi agama. Dalam Kristen, gerakan "Ecotheology" yang dipelopori oleh John B. Cobb Jr. dan Sallie McFague menawarkan pembacaan baru atas Kitab Kejadian, di mana "berkuasalah atas bumi" (1:28) ditafsirkan sebagai tanggung jawab untuk merawat, bukan mengeksploitasi. Data dari Yale Center for Faith and Culture (2023) menunjukkan bahwa jemaat yang terpapar tafsir ekologis mengalami penurunan jejak karbon individu sebesar 2,3 ton per tahun.
Di dunia Islam, konsep khalifah mengalami reinterpretasi radikal. Islamic Foundation for Ecology and Environmental Sciences mengembangkan "Maqasid al-Bi'ah" (Tujuan-tujuan Syariah Lingkungan) yang menempatkan konservasi alam sebagai fardhu kifayah. Hasilnya mencengangkan:
• 63% pesantren di Jawa Timur kini mengintegrasikan fikih lingkungan dalam kurikulum (ICRP, 2023)
• Fatwa haram terhadap pembakaran hutan di Riau mengurangi kebakaran lahan sebesar 42% (Walhi, 2022)

_*2. Mobilisasi umat global untuk kehidupan*_

Potensi mobilisasi agama-agama sungguh fenomenal. Gereja Katolik saja memiliki  1,3 miliar umat tersebar di 200.000 paroki, dan 5.000 biara dengan 3 juta hektar lahan produktif (Vatican Statistical Yearbook, 2023). Program "Green Churches" di Jerman berhasil mengkonversi 1.200 gereja menjadi energi terbarukan dalam 3 tahun (German Bishops' Conference, 2023)

_*3. Membangun aliansi Lintas Iman untuk kelestarian*_

Interfaith Rainforest Initiative menjadi model sukses: 
• 85% pemimpin agama di Amazon mendukung moratorium deforestasi
• 120 aliansi lintas iman terbentuk di 30 negara (IRI, 2023)

Kasus menarik terjadi juga terjadi di Kenya:
Kemitraan antara gereja, masjid, dan kuil Hindu menciptakan koridor migrasi satwa sepanjang 300 km
Populasi gajah meningkat 25% dalam 5 tahun (Kenya Wildlife Service, 2023)

_*4. Edukasi Konservasi*_

Inovasi pendidikan agama berbasis ekologi menunjukkan dampak signifikan:
• Seminari Teologi di Filipina yang mengajarkan Laudato Si' menghasilkan 500 aktivis lingkungan baru (CBCP, 2023)
• Kurikulum "Eco-Dhikr" di pesantren meningkatkan partisipasi santri dalam konservasi sebesar 75% (Zamhari, 2023)

Data UNESCO (2023) mengungkap:
*Sekolah Minggu berbasis ekologi meningkatkan kesadaran lingkungan anak 3x lipat
*80% alumni pesantren ekologi menjadi penggerak konservasi di komunitasnya.

_*5. Advokasi dan tugas kenabian agama-agama*_

Para pemimpin agama mulai mengambil peran profetik, misalnya : 
• REPAM (Jaringan Gereja Amazon) mengajukan 15 kasus lingkungan ke ICC (2023)
• Fatwa MUI tentang energi terbarukan mendorong investasi hijau sebesar Rp 15 triliun (KEHATI, 2022)

Agama-agama berdiri di persimpangan sejarah. Dengan 6 miliar penganut (84% populasi dunia), jaringan global, dan otoritas moral, mereka memiliki sumberdaya yang tak tertandingi. 
_Apakah agama berani untuk bertransformasi - dari teologi antroposentris ke ekosentris, dari ritual simbolis ke aksi nyata? Dari kedekatan dengan kekuasaan dan modal menjadi suara kenabian dan pembelaan bagi kehidupan? Dari investasi bahan bakar fosil dan tambang ke kelestarian segenap ciptaan?_

_Kebenaran yang tidak dibela dengan pertaruhan kehidupan, tidak berhak kita impikan._


_*Cyprianus Lilik K. P*_
_disclaimer : tulisan ini disusun dari berbagai sumber dan bantuan AI_
_*Dari Sejarah:* Pada tahun 2008, Earth Hour pertama kali diadakan secara internasional pada tanggal 29 Maret_
_29 Maret 1973 penarikan pasukan AS dari Vietnam_
Previous Post Next Post

Sumber Tenaga Baru

Mencegah Radiasi

Kretek Rempah Indonesia

Terapi Asap