EDITORIAL
*Membaca Ferry*
Bungkus tidak penting, yang penting adalah isinya. Kalau Anda percaya pepatah itu, sekarang saatnya menimbang-nimbang kembali karena ternyata bungkus itu penting sekali—sekurang-kurangnya untuk Gereja Katolik. Banyak harta karun dalam khazanah Gereja: pokok-pokok imannya, etika dan moralnya, ajaran sosialnya, tradisinya, liturginya, komunitasnya, dan lainnya. Tapi jika segala yang berharga itu tidak ditampilkan dengan baik, tidak dibungkus dengan memikat, Gereja bisa kehilangan pesonanya dan ditinggalkan orang.
Maka, supaya tragedi itu tidak terjadi, buatlah khotbah yang menggigit, jangan membosankan. Buatlah ibadat yang menyentuh jiwa. Terbitkan buku-buku Katolik yang bagus, populer, mudah dibaca. Imam dan umat selayaknya juga lebih banyak tersenyum, suka menolong, ramah, mau bergaul, mau menyapa. Siapa yang tertarik menjadi anggota Gereja Katolik kalau pastor dan umat Katolik tampil secara jelek? Demikian tulis Pastor Ferry dalam artikel "Bungkus Gereja yang Memikat" (hlm 31).
Gagasan segar itu semakin menggelitik karena datang dari seorang Pastor Ferry, seorang imam katolik, yang salah satu tugasnya sebagai imam adalah membuat bungkus yang memikat itu! Jadi, sesungguhnya kita sedang membaca tulisan seseorang yang sedang memecut dirinya sendiri. Sebagai umat katolik, kita senang saja membacanya. Ketika pemimpin kita berani melihat ke dalam, mengkritik diri, dan memacu diri untuk terus bergerak, kita tahu kita ada di tangan yang tepat.
Ada lagi gagasan yang _out of the box_, yaitu tentang mempekerjakan seorang awam secara profesional sebagai manajer untuk mengelola aktivitas harian paroki. Terdengar asing? Konteksnya begini. Di paroki dengan umat berjumlah ribuan, dengan sekian banyak seksi, tim kerja, serta kelompok kategorial, seorang pastor paroki bisa mengalami disorientasi dan tenggelam dalam urusan administrasi dan rapat. Atau tanpa disadari lari ke _micro-managing_ mengurusi keran bocor, ganti lampu, memeriksa bon-bon pembelian, dan perintilan remeh temeh lainnya. Manajer paroki akan menangani urusan tetek bengek itu serta hal-hal lain yang tidak perlu seorang pastor untuk membereskannya. "Dengan sistem manajer paroki yang bukan pastor, para pastor akan lebih fokus pada pekerjaan-pekerjaan pastoral yang tidak bisa digantikan, misalnya pelayanan sakramen, konseling, mempersiapkan homili, kunjungan rumah, dan lain-lain" (hlm 203).
Lainnya lagi, kunjungan umat adalah kegiatan pastoral yang sangat bagus, tetapi dapat menjadi beban yang teramat berat jika harus ditunaikan oleh seorang pastor sendirian. Maka, bentuklah tim untuk mengelolanya secara sistematis dengan memanfaatkan database dan teknologi (hlm 176). Bila kunjungan ke rumah agak sulit dilakukan, mengapa tidak menyapa umat lewat telepon, bercakap-cakap lewat _video conference_ atau sarana lain yang disediakan teknologi hari ini (hlm 177).
Ide lainnya lagi, manfaatkanlah ruang di paroki sebagai _daycare_ atau tempat penitipan anak (hlm 219). Banyak keluarga katolik muda, khususnya di perkotaan yang suami dan istri samasama bekerja, memerlukan tempat di mana mereka bisa menitipkan bayi mereka dengan rasa aman dan nyaman. Betapa bersyukurnya mereka jika itu disediakan oleh paroki yang tentunya akan dikelola dengan standar dan nilainilai katolik.
Senang rasanya menemui butir-butir gagasan yang menggelitik dan menantang pola pikir seperti itu ketika menyunting kumpulan tulisan Pastor Ferry. Isinya cukup beraneka macam. Sebagian besar adalah publikasi di majalah dan buletin. Sebagian lain makalah seminar. Ada yang ditulis secara formal, ada yang sangat personal. Ada juga yang berupa surat-menyurat. Semula dipertimbangkan untuk mengelompokkan tulisan berdasarkan topiktopik tertentu, tetapi akhirnya kami sepakati diurutkan secara kronologis. Sebagian artikel dikeluarkan dari seleksi karena pengulangan, irelevan, dan alasan teknis lain. Beberapa tulisan sulit dipastikan tanggal penulisannya, sebagian lain berhasil dirunut berdasarkan informasi pada metadata berkas digitalnya.
Tulisan paling awal tertanggal tahun 1983. Jadi, beliau masih menyimpan salinan tulisan yang dibuatnya lebih dari 40 tahun silam. Dokumentasinya rapi. Mereka yang mengenal Ferry tidak akan terlalu heran akan hal ini. Tahun 1990 saya pernah menjalani masa orientasi pastoral di Paroki Santo Yosef Cirebon. Ada enam pastor di sana, salah satunya Pastor Ferry. Sebagai simbol penyambutan, ia menghadiahi saya buku dan setumpuk kliping berita dari koran lokal, koran nasional, dan artikel majalah. Semuanya tentang peristiwa, sejarah, dan kebudayaan Cirebon. Wow, hadiah yang sama sekali tak terduga. Mengumpulkan dan menyusun informasi secara disiplin sudah merupakan traits Pastor Ferry sejak dini.
Ia pergi ke banyak tempat dan senang berbagi cerita. Ketika pindah tugas ke paroki baru, berkunjung ke pedalaman Kalimantan, visitasi ke pelosok Ruteng, mampir ke Singapura, live in di Thailand, studi di Filipina, paskahan di Papua, atau selagi menunggu di bandara, ia akan bercerita tentang apa yang dilihatnya, didengarnya, dialaminya, atau yang berkecamuk di pikirannya.
Ia mengenal banyak orang dan mengingat mereka dengan sangat baik. Ia bisa bercerita dengan amat detail tentang nama-nama yang disebutnya. Saking detailnya, kadang ceritanya jadi melebar dan kehilangan fokus, dan ketika kembali ke topik pembahasan, kita pembaca jadi sedikit kaget. Namun, itulah cara Ferry mengingat dan menghargai orang yang dikenalnya.
Pastor Ferry, yang pernah nyaris diculik kelompok teroris Abu Sayyaf di Filipina ini, tidak pernah bisa mengerti mengapa orang bersikukuh merokok. Jelas-jelas sudah terbukti secara ilmiah bahwa rokok berdampak buruk bagi kesehatan, buruk juga bagi ekonomi keluarga, melawan rasa keadilan sosial, tetapi mengapa orang masih juga merokok? Namun, yang paling membuatnya gemas sebagai seorang pastor adalah rekan-rekan imam pun banyak yang merokok, bahkan di depan anak-anak dan kaum muda yang diharapkan meneladani mereka. Di Gereja Katolik memang tidak ada dogma atau ajaran yang eksplisit menyatakan bahwa merokok itu haram. Maka Ferry mengajak, "Marilah kita tidak merokok di lingkungan gereja dan tidak harus menunggu Tuhan Yesus melarang atau menunggu keputusan sinode atau konsili Gereja." (hlm 212)
Kadang ia melakukan apa yang tidak terpikirkan oleh kita orang kebanyakan. Suatu ketika ia memegang dokumen Sidang Sinodal KWI. Di dalamnya terdapat informasi biodata para uskup. Lalu ia menghitung persentase uskup yang berumur di bawah 50 tahun dan yang di atas 70. Ia juga menghitung, ternyata 71 persen uskup menguasai 4 bahasa dan ada bahkan yang menguasai 8, 13, hingga 16 bahasa. Lahirlah artikel "Membaca Biodata Uskup-Uskup Indonesia" (hlm 78). Bisa jadi tulisan itu lahir karena dorongan iseng mengisi waktu luang, tetapi sesungguhnya yang terjadi adalah Ferry sedang membuat profiling dan pemetaan sumber daya pemimpin Gereja Katolik Indonesia. Ia sedang menjalani peran seorang _data analyst_, pekerjaan yang hari ini punya posisi terhormat dan digaji tinggi. Mungkin itu karena Ferry kadang melihat apa yang luput dari mata kita. Karya pastoral akan efektif jika diselenggarakan berbasis data, maka Gereja harus terbiasa mengumpulkan data, menyusunnya sebagai database, menganalisis, dan kemudian berdasarkan itu menyusun strategi.
Pada momen-momen tertentu, Pastor Ferry membuat refleksi menyeluruh atas perjalanan hidupnya. Dia bercerita tentang keluarganya, masa kecil nya, tonggak-tonggak dalam sejarah hidupnya, keputusan-keputusan penting yang di am bil nya, dan kondisi terkini dirinya. Momen itu antara lain saat di tah bis kan sebagai imam (hlm 24), peringatan 10 tahun imamat (hlm 60), peringatan 25 tahun imamat (hlm 248), ulang tahun organisasi yang dirintisnya (hlm 383), tetapi juga ketika menunggu di bandara (hlm 123). Ferry seolah terus-menerus merenungkan hidup, iman, relasi dengan sesama, dan tanggung jawabnya terhadap dunia. Agaknya dengan cara itu ia hidup secara sadar, bermakna, berakar, menjejak bumi. Sejak cukup lama
Pastor Ferry menaruh perhatian pada bidang pelestarian lingkungan hidup, namun ia merasa digedor batinnya ketika mengikuti pelatihan The Climate Reality Project oleh Al Gore tahun 2009. "Di Melbourne itulah saya sadar bahwa dunia agama tidak cukup hanya sibuk mengurusi hubungan dengan Allah dan sesama ... para pemimpin spiritual lupa mengajak manusia membangun relasi manusia dengan alam semesta" (hlm 384). Dan bergeraklah Ferry ke mana-mana, mengkampanyekan pentingnya merawat alam lingkungan hidup. Bersama dengan kawan-kawannya ia mendirikan yayasan, menjalankan pusat pendidikan ekologi bagi semua kalangan, dan bekerja sama dengan banyak pihak untuk melanjutkan kampanye.
Secara pribadi ia menjalankan apa yang dikatakannya. Sedapat mungkin ia tidak makan hasil peternakan karena industri peternakan menyumbang banyak gas efek rumah kaca. Ia mandi tidak pakai sabun dan sampo hasil industri karena kemasan dan kandungannya merusak lingkungan. Jalan yang ditempuh Pastor Ferry seakan-akan menyiratkan bahwa spiritualitas yang sejati justru pada akhirnya membuat manusia semakin mencintai dunia, bukan mengabaikannya.
Terpilihnya Jorge Mario Bergoglio sebagai Paus Fransiskus dan komitmennya pada lingkungan hidup tampaknya menjadi pedoman arah dan sekaligus bahan bakar yang semakin menyemangati Ferry untuk bergerak. "Paus Fransiskus berulang kali menyampaikan mimpi Gereja masa depan yaitu menjadi Gereja rumah sakit lapangan atau _field hospital church_ yang mempunyai kemampuan untuk menyembuhkan luka-luka Ibu Bumi. Paus Fransiskus juga mengajak kita bukan hanya membuka pintu Gereja, namun melangkah keluar pintu untuk ikut menyembuhkan mereka yang terluka. Paus Fransiskus lebih memilih Gereja yang kotor dan berlumpur daripada Gereja yang bersih karena memilih diam tak bertindak" (hlm 380).
Dengan spiritualitas semacam itu, sangat bisa dipahami mengapa belakangan ini Ferry cukup banyak menulis tentang masalah Papua. Setelah bertemu dengan orang asli Papua, mendengarkan kisah mereka, berbincang-bincang dengan pemimpin mereka, dan datang menjejakkan kaki di Tanah Papua serta melihat dengan mata kepala sendiri, ia mengerti dan solider dengan penderitaan yang dialami orang Papua karena "saudara-saudara kita di Papua juga adalah bagian Tubuh Kristus yang tak terpisahkan. Kalau saudara kita di Papua menderita, maka kita yang adalah anggota Tubuh Kristus yang sama juga ikut menderita" (hlm 404). Dalam keadaan itu, diam menjadi hal yang mustahil.
Jauh dari sikap menyombongkan diri, Ferry justru tidak segan-segan menunjukkan kerapuhan dirinya. Dalam surat kepada uskup, misalnya, ia berterus terang menyatakan ketidakmampuannya untuk menjalankan dua tugas sekaligus sebagai rektor seminari tinggi dan ketua komisi kepemudaan (hlm 41). Dua-duanya pekerjaan penting, dua-duanya dirugikan karena tidak memperoleh perhatian secara memadai darinya. Ketika sedang bercerita tentang idealnya peran pastor pembantu di paroki, ia berkata, "Saya adalah contoh buruk pastor yang bekerja di paroki, namun sering pergi meninggalkan paroki dan kurang fokus pada pekerjaan di paroki" (hlm 204).
Bahkan tentang hidup selibat yang sering ditanyakan orang kepada para imam dan biarawan-biarawati, ia menulis "Beberapa kali saya ingin 'menikah,' tapi Tuhan terus juga 'menyeret' saya kembali ... Saya tak pernah menyesal pernah jatuh cinta berkali-kali" (hlm 57). Lalu juga "Saya bahkan yakin bahwa saya akan memilih menikah jika imam boleh menikah .... Saya menemukan bahwa kebutuhan saya untuk dicintai dan mencintai agaknya jauh lebih besar daripada kebutuhan untuk memiliki prestasi, entah itu kekayaan maupun kuasa" (hlm 60). Jarang-jarang kita mendengar pengakuan sepolos ini dari para klerus kita. Sekarang kita jadi semakin memahami betapa berat pilihan hidup selibat itu dan semakin hormat pada mereka yang menempuhnya hingga paripurna. *
Judul buku ini, _Jejak Orang yang Berhutang_, adalah salah satu tema inti yang dihayati Ferry sejak dirinya ditahbiskan sebagai imam pada tahun 1990 hingga sekarang, 35 tahun kemudian. "Saya mengalami bahwa Tuhan itu sangat baik dan mengampuni semua dosa saya dan terus memberikan banyak anugerah, kebaikan, dan perlindungan. Saya adalah orang yang berhutang kepada Tuhan. Saya berusaha membalas kebaikan Tuhan tersebut dengan menjadi seorang imam. Nyatanya, saya semakin berhutang dan tidak pernah bisa sungguh membalas kebaikan Tuhan" (hlm 536).
Namun, seandainya saya adalah Tuhan, saya tidak akan menganggap Pastor Ferry berhutang. Sebagai Tuhan, saya merasa cukup puas melihat apa yang dilakukan Ferry sampai sejauh ini. Ia berusaha menjalani peran dan menunaikan tugas-tugas yang dipercayakan kepadanya dengan sebaikbaiknya. Perkataan, perbuatan, dan tulisan-tulisannya menginspirasi banyak orang: jemaat yang digembalakannya, murid-murid yang diajarnya, mitra kerjanya, teman-temannya, atasan yang diabdinya, pembaca yang membaca tulisannya, dan banyak lagi. Ia bekerja keras membuat dunia lebih baik. Saya rasa, ia salah satu umat saya yang baik.
Saldonya positif dalam buku catatan saya. Dua talenta saya berikan padanya dan ia memutarnya dengan baik sehingga menjadi berlipat-lipat. Ferry mungkin tidak sadar, saya bukan kreditur. Saya lebih mirip _angel investor_ yang tak pernah mengharap kembali.
Tapi, seandainya saya Tuhan, tentu saja saya tidak akan mengatakan hal itu kepada Ferry. Biarlah dia menemukannya sendiri suatu waktu. Lagipula, sepertinya ada baiknya juga membiarkan Ferry merasa masih punya hutang berkepanjangan. Dengan begitu, dia akan terus berusaha berbuat baik untuk waktu lebih lama, dan menulis lebih banyak pula. Dan, sebagai akibatnya, akan ada lebih banyak lagi orang yang terinspirasi untuk hidup lebih baik. Saya rasa, itu baik adanya.
Juan St. Sumampouw, editor